
Baru pagi ini saya kedatangan seorang teman dari ibu kota yang kebetulan saat ini sedang berada di Malang. Seperti biasa, kami bercerita mengenai kondisini beberapa tahun silam ketika kami berdua masih duduk dibangku kuliah, nostalgia lah ceritanya.
Dan semakin lama, pembicaraan kami semakin mengerucut kepada persamaan yang ada diantara kami berdua. Karena kami berdua sama-sama wirausahawan, maka pembicaraan tentunya mengerucut kepada bisnis apa yang sedang kami kerjakan saat ini.
Teman saya ini, bercerita bahwa usahanya saat ini agak stagnan. Alias jalan ditempat. Permasalahannya adalah, ketika pesanan banyak, kemampuan produksinya gak mumpuni. Ketika produksi sudah diamankan, eh orderdannya agak surut. Mau nambah SDM, kuatir beban operasional bengkak. Walhasil dia butuh pihak ketiga untuk membantu pendanaannya. Namun selama ini dia kemana-mana mencoba menggandeng investor, tapi kok gak ada satupun investor yang nyantol untuk menanamkan modal mereka ke bisnisnya.
Teman ini, mengetahui bahwa bisnis yang saya jalani adalah bisnis keuangan. Dia bertanya sungguh-sungguh, mengenai bagaimana sih caranya menggandeng investor supaya mau invest dibisnisnya.
Jadi karena temen ini bertanya bersungguh-sungguh, sayapun mengatur duduk saya agak membungkuk kedepan agar nasihat yang akan saya sampaikan ini juga terkesan bersungguh-sungguh, hehehe.
Permasalahan utama antara pelaku bisnis dan investor adalah perbedaan sudut pandang.
Dari segi investor, mereka merasa mereka yang punya uang. Dan mereka merasa tanpa keikutsertaan mereka, maka bisnis pihak yang akan diinvestkan tidak jalan. Oleh karena itu, mereka minta bagihasil yang cukup besar. Mereka lupa bahwa investor bukan mereka seorang.
Dari segi pelaku bisnis, mereka merasa mereka yang kerja dilapangan, kok enak banget investor tinggal taruh uang, dan dapet bagi hasil yang gede. Harusnya investor dapetnya kecil aja. Kalo investornya gak mau, ya tinggal cari investor lagi saja, toh investor bukan dia seorang. Mereka juga lupa kalo gak pake uang dari investor, bisnisnya mereka juga tidak jalan. Dan pebisnis yang butuh dana juga bukan dia doang. Masih banyak bisnis lain yang butuh investor. Jadi pastinya investor gak bakalan mati gaya.
Dan yang lebih parah lagi, nih, ada cara berpikir kayak gini dari para pelaku bisnis; karena ini kerja sama, maka harusnya kalo untung, untung bareng, kalau rugi, juga rugi bareng.
Ini cara berpikir yang keliru. Sekarang saya tanya, siapa sih orang yang siap rugi? Pasti gak ada yang rela. Bahkan jika sipelaku bisnis ada diposisi si investor, juga saya yakin gak bakalan rela untuk rugi.
Oleh karena itu, harus dicarikan titik tengahnya. Harus ada yang mengalah, dan dalam hal ini, karena yang mengajukan kerjasama biasanya pihak yang punya bisnis, maka mereka pun harus bijak dalam memberikan penawaran.
Dari sisi investor, sebenarnya ada 5 hal yang paling menjadi pertimbangan bagi mereka untuk memutuskan akan invest dibisnis tersebut atau tidak. Kita kupas satu persatu, ya.
Hal pertama, berapa besaran uang yang dibutuhkan?
Saya sering ketemu sama pelaku bisnis yang sambat karena terkendala modal. Namun ketika saya tanya, memang kalau butuh tambahan modal, berapa nominal yang dibutuhkan? Jawabannya seringkali nyebelin; wah itu saya belum itung-itung butuhnya berapa. Dalam hati saya cuman bilang; Anjrit !
Hal kedua, untuk apa uang tadi diperuntukkan?
Pihak yang mengajak kerjasama harus bisa mengejawantahkan, atau bahasa lainnya, menjabarkan, uang tadi mau dipake untuk apa saja. Apa memang benar yang dibutuhkan sebesar itu? Karena banyak pelaku bisnis yang tidak mau detail dalam pemaparan strategi bisnis dan penggunaan uangnya. Mereka berharap agar si investor manut dan percaya saja dengan langkah yang akan mereka ambil. Mereka lupa, bahwa yang namanya percaya itu, dua arah.
Hal ketiga, berapa lamanya kerja sama itu berlangsung?
Jangan disangka uang investor itu nganggur lo ya. Investor kelas kakap biasanya malah cerewet. Karena mereka mau uang mereka aman, makanya mereka kritis. Dan mereka biasanya mengelola keuangan mereka dengan sangat teratur, sehingga meski uang mereka nganggur, namun semuanya terserap dan bisa menghasilkan keuntungan seoptimal mungkin untuk mereka. Oleh karena itu, jika bentuk kerjasamanya ini tidak mengikat selamanya, harus ada jangka waktunya, sehingga kalau memang kerjasama ini menguntungkan, mereka akan terus mau mempercayakan uang mereka kepada pengelola.
Hal keempat, apa untungnya buat saya?
Penawaran yang diberikan haruslah semenarik mungkin. Anda sebagai pelaku bisnis yang akan menggandeng investor tidak bisa lagi meilhat hal ini dari kacamata Anda sendiri. Seperti kita tahu bahwa banyak lembaga keuangan yang menawarkan bagihasil dengan nilai 1%-1,5% per-bulan. Atau 12%-18%/tahun. Jika Anda menawarkan nilai bagihasil dibawah angka tersebut, sudah barang tentu investor enggan. Selalu beri penawaran yang menarik.
Hal kelima, bagaimana mitigasi resikonya?
Investor mana yang mau rugi? Gak ada. Mereka mau uang mereka aman. Oleh karena itu, Anda harus memastikan bahwa uang para investor aman dengan cara menunjukkan bahwa Anda memang benar-benar handal mengelola bisnis tersebut. Beritahu kemungkinkan-kemungkinan yang terburuk apa yang mungkin terjadi, dan bagaimana cara Anda mengunci resikonya. Bahkan, kalau mau fair, Anda juga harus bisa memberikan jaminan bahwa Anda memang benar-benar telah mengunci segala resiko yang mungkin terjadi sehingga dana investasi mereka, aman. Ingat, jangan pernah punya pikiran bahwa untung sama untung-rugi sama rugi.
Demikian 5 poin yang saya beritahukan kepada teman saya, dan teman saya tampak mantuk-mantuk tanda mengerti.
Siapapun tidak suka orang oportunis. Karena itu, jangan oportunis.
Yahaa ~