Pic From Freepik

Bagi teman-teman yang pernah membaca bukunya Robert Kiyosaki “Rich Dad Poor Dad”, disitu teman-teman akan menemukan cashflow quadrant, di mana kalau saya bagi menjadi dua bagian, bagian kiri adalah bagian di mana kita masih bekerja menukarkan waktu kita untuk uang, dan yang satunya bagian kanan di mana uang lebih banyak bekerja untuk kita.

Tentu quadrant kanan lebih terlihat menggiurkan daripada bagan kiri. 

Enak banget, tidur bisa dapat uang, gitu kan? 

Namun masalahnya adalah masih banyak orang yang tidak paham bagaimana mengaplikasikan hal tersebut di dunia nyata.

Saya ambil contoh sederhananya begini: 

Menjadi fotografer professional tidak lantas menjadikanmu menjadi seorang pebisnis fotografi. Banyak kenalan dan teman-teman saya fotografer wedding, dan mereka sering berkeluh kesah tentang perang harga yang terjadi di antara mereka. Bagi mereka, dengan semakin canggihnya era digital saat ini dan semakin terjangkaunya gadget-gadget dan peralatan fotografi, membuat persaingan mereka semakin berdarah-darah. Orang beli kamera, lantas sudah bisa merasa menjadi fotografer, pasang harga murah, gitu ya. Sedang menurut mereka, harga yang dipasang oleh orang baru tadi tidak masuk akal dan merusak harga.

Lalu saya tanya, emang harga segitu kalian tidak untung?

Mereka jawab, ya untung sih, tapi mepet banget, tidak sebanding sama tenaga yang dikeluarkan. Karena bagi mereka, menjadi fotografer itu tidak cuma moto, melainkan juga, ketemu klien, kegiatan marketing, mengedit post proses foto dan video, bayar tagihan kendaraan dan belanja anak istri, dan masih banyak lainnya lah. Sedang untuk satu acara, klien itu nawarnya membabi buta, dan tidak jarang juga membandingkan harga dengan kompetitor yang murah banget.

Nah, menurut saya, teman-teman saya ini merasa bahwa mereka “berbisnis fotografi”, padahal mereka masih berada di zona fotografer professional, belum berbisnis. Yang membedakan antara profesi dengan bisnis adalah sistem. Bisnis adalah permainan tim, yang mana ada sistem yang bisa membuat tim ini bersinergi antara satu sama lainnya.

Bisnis fotografi, menurut saya, tidak perlu sang fotografer mengerjakan segala sesuatunya sendirian. Bahkan seseorang yang tidak bisa motret pun bisa punya bisnis fotografi. Loh, emang gimana caranya, tidak bisa motret kok bisa punya bisnis foto? Ya bisalah, begini caranya:

Misalnya Anda mau membuat bisnis fotografi sendiri, modal uang awal yang perlu Anda keluarkan tidak sampai berjuta-juta, melainkan cukup 20-50 ribu saja.

Untuk apa? Untuk buat kartu nama. 

Di kartu nama itu tuliskan nama bisnis fotografi Anda, dan nama Anda sebagai direktur. Bagikan kartu nama Anda ke orang-orang, sahabat-sahabat, dan keluarga yang membutuhkan.

Lalu Anda cari fotografer yang mau diajak kerjasama, tanya harga jasanya berapa kalau mau diajak motret di project kawinan. Lalu cari vendor lain seperti editor, untuk mengedit foto ataupun video, dan percetakan. Tanya berapa harga mereka untuk menggarap satu project.

Anggap begini, harga fotografer 500 ribu, harga jasa edit foto 300 ribu, harga cetak foto dan album 200 ribu, berarti modal awal 1 juta rupiah. Anda mau untung 2 juta rupiah per kawinan, maka Anda tawarkan paket jasa Anda senilai 3 juta rupiah. Itu baru bisnis fotografi. Anda bisa untung 2 juta satu project kawinan, tapi waktu Anda lebih longgar. Daripada Anda untung 2,8 juta rupiah tapi waktu Anda banyak terbuang, lebih baik untung 2 juta tapi waktu Anda longgar.

Dan dengan waktu longgar tersebut, Anda bisa mencari lebih banyak klien, membuat promosi yang nendang, artinya semakin banyak waktu nganggur artinya juga semakin banyak waktu untuk berpikir. 

Itu mendapatkan pasif income dari bisnis fotografi ya. Bukan Anda yang motret, bukan Anda yang mengedit, tapi Anda yang mendapatkan uang.

Lalu contoh mendapatkan pasif income dari investasi gimana?

Begini, Anda punya duit nganggur, Anda investasikan menjadi sebuah konsep kelas pelatihan fotografi online. Anda bisa menggandeng banyak fotografer untuk membuat kelas pembelajaran fotografi untuk divideo-kan dan dimasukkan ke video. Buatkan kelas online, dan video-video tadi bisa ditayangkan, bagi orang-orang yang sudah membayar dan mau mengikuti kelas tersebut. Kalau Anda buat kelas offline, maka setiap kelas Anda harus mengundang beberapa narasumber untuk mengajari keahlian mereka, dan tiap sesi kelas, ada biaya yang perlu dikeluarkan untuk operasionalnya. Tapi kalau kelas online, pemateri dan narasumbernya sudah divideo-kan, dan bisa disetel berulang-ulang, bahkan Anda tidur pun video tersebut bisa menghasilkan uang untuk Anda.

Gitu jadinya kawan-kawan sekalian, jadi sekarang Anda harus paham dulu, Anda berada di sebelah kiri kuadran atau sebelah kanan kuadran?

Kami juga memiliki saluran YouTube “Bantubisnismu”, dan channel “Cerita Bisnis” di Spotify, di mana kami membahas topik seputar bisnis, keuangan, dan manajemen. Silakan mampir ke saluran YouTube dan Spotify kami dan berikan dukungan, semoga Anda juga mendapatkan manfaatnya.

Jika Anda memiliki masalah dalam bisnis Anda, atau memiliki pertanyan seputar bisnis dan ingin berdiskusi lebih lanjut hubungi Bantu Bisnismu.Com : https://wa.me/6281933046983 atau 

email – bantubisnismu@gmail.com