Pict by Freepik

Saya punya teman yang cukup unik, sebut saja namanya si A. Dia punya bisnis supplier ayam. Bisnisnya sudah cukup besar. Orderan ayamnya selain B to C, juga melayani B to B serta B to G. Orderannya pun tidak tanggung-tanggung. Satu perusahaan bisa order 200 ton ayam sebulan. Sedangkan dia melayani beberapa perusahaan. Kenapa saya bilang unik? Karena saya tahu sendiri si A ini sering “dikerjain” sama teman-temannya.

Ada orang punya ide bagus dan butuh modal datang ke dia, dan dia berikan modal. Biasanya jika bisnisnya berhasil, dia ditinggal. Jika bisnisnya gagal, risiko uangnya tidak balik. Padahal bisa saja bisnis itu gagal karena pelaku bisnisnya yang kurang professional. Tapi meski demikian, dia cuek saja.

Pada satu kesempatan, ada temannya yang menawarkan ayam potong kepada kawan ini. Padahal si A ini sudah punya RPA (Rumah Potong Ayam) sendiri. Dengan demikian, secara logika harga produksinya pasti lebih murah daripada dia mengambil ayam dari orang lain, yang mana harganya cendrung lebih tinggi. Karena temannya si A yang menawarkan ayam potong ini bisa jadi dia tidak punya RPA dan mungkin dia mendapatkan ayam tadi dari pihak ketiga, sehingga otomatis harganya jadi lebih tinggi.

Tapi si A ini tetap mengambil penawaran dari kawannya ini, meski keuntungan yang dia peroleh menjadi lebih tipis. Hal ini sering terjadi, ada teman lain yang punya suatu produk yang bisa disinergikan maka akan dia ambil. Yang saya amati, kebanyakan pengusaha, jika ada temannya yang menawari kerja sama misalnya, orang punya sebuah rumah makan ayam lalapan yang punya banyak cabang cukup ramai dan ada temannya yang jadi suplier ayam menawarkan ayam kepada rumah makan tadi biasanya pada awalnya berjalan baik. Namun kedepannya akan ada pemikiran dari yang punya rumah makan untuk membuat peternakan ayam sendiri atau membuat RPA sendiri sehingga supply chainnya dari hulu ke hilir bisa dipegang sendiri.

Nah si A ini tidak seperti itu. Sebagai supplier yang punya RPA ya fokus disitu saja. Dia tidak buka perternakan sendiri dan tidak membuat rumah makan sendiri. Padahal jika dia mau, bisa saja dia lakukan hal itu. Lalu kenapa juga kalau ada yang menawarkan ayam potong tetap diterima, padahal dia juga punya pemotongan ayam sendiri. Beberapa saat yang lalu waktu saya main kekantornya si A ini, saya tanyakan hal ini kepadanya, kenapa tawaran orang-orang banyak diterima, tawaran untuk ayam potong tadi juga, padahal untungmu bisa jadi lebih sedikit daripada kamu buat produk sendiri.

Jawab si A ini seperti ini, “bagi saya, untung besar itu nomer sekian, bukan yang utama. Lebih utama kebersamaan dan kebermanfaatan daripada sekedar keuntungan. Karena jika kita membangun bisnis itu Bersama-sama, maka manfaat yang tersebar akan bisa sampai ke banyak orang dan pada saat kita susah, orang lain juga akan membantu kita. Ini konsep gotong royong yang saya jalankan.”

Saya jadi ingat pesan mentor bisnis saya dahulu. Mentor saya adalah orang keturunan Tionghoa. Mentor saya pernah berkata “kamu tahu, kenapa kami, minoritas, secara ekonomi lebih kuat daripada kalian yang pribumi? Karena kami membangun ekonomi bersama-sama. Kalau saya punya proyek senilai 1 M, dengan keuntungan 500 juta maka meski saya punya modal 1 M, saya tidak akan mengerjakan proyek ini sendiri. Saya akan mengajak 9 teman saya yang lain yang memiliki dana 1 milyar juga, untuk sama-sama menyetor modal 100 juta dan saya sendiri akan ikut serta 100 juta. Total bersepuluh akan terkumpul modal 1 Milyar.”

“Misalnya, saya sebagai pelaksana proyek mendapatkan bagian 50%, berarti keuntungan saya sebagai pelaksana sebesar 250 juta (50% dari 500 juta). 250 juta sisanya dibagikan kepada investor yang 10 orang tadi, termasuk saya, saya kan juga sebagai investor. Masing-masing mendapatkan 25 juta berarti total uang yang saya dapatkan adalah 250 juta + 25 juta, total sebesar 275 juta rupiah. Jika proyek ini saya kerjakan sendiri, maka keuntungan saya sebesar 500 juta. Kenapa tidak saya kerjakan sendiri? Karena ketika proyek ini bermasalah, maka masalah tersebut akan menjadi masalah saya sendiri dan dana backup saya sangat terbatas. Namun jika saya membangun proyek tadi bersama teman-teman saya, maka masalah ini akan menjadi masalah bersama. Teman-teman saya tidak akan mau kehilangan modal 100 jutanya, oleh karena itu jika ada masalah dalam perjalanan proyek ini, backup dana kami minimal masih ada sebesar 9 Milyar rupiah. Karena masing-masing investor punya modal minimal 1M, dikurangi 100 untuk modal proyek, maka ditabungan mereka masih tersisa minimal 900 juta rupiah x 10 orang = 9 Milyar.”

Lalu mentor saya meneruskan, “jika orang pribumi, punya proyek 1 milyar dan punya dana 1,2 Milyar, kemungkinan besar proyeknya akan dikerjakan sendiri. Ketika proyek ini ada masalah ditengah jalan, dia akan  kebingungan butuh dana untuk membooster agar proyek ini bisa keluar dari masalah, tapi dana pribadi sangat terbatas. Akhirnya proyek molor, ada biaya denda, alih-alih untung, malah bisa jadi rugi.”

Kembali ke teman saya si A. Ucapannya benar juga, bahwa bisnis memang harus untung. Tapi kebersamaan dan kebermanfaatan lebih penting daripada sekedar untung karena dengan kebersamaan dan kebermanfaatan, mungkin untung kita jadi lebih sedikit tapi bisnis kita bisa berlangsung lebih panjang.

Leave a Reply